Avian Influenza (AI) atau Flu burung termasuk penyakit infeksi viral akut yang dapat menyerang segala jenis unggas dan dari segala umur unggas. AI terbagi dalam beberapa subtype berdasarkan perbedaan bagian Hemaglutinin (H1-18) dan Neuraminidase (N1-N10) dimana masing-masing subtype memiliki tingkat patogenesitas yang beragam mulai dari Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) hingga High Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Namun baik LPAI dan HPAI diketahui sama-sama mampu mempengaruhi kesehatan unggas (Cattoli et al., 2011).
Virus AI dapat ditularkan melalui ekskresi virus dari lubang hidung, mulut, konjuntiva, dan kloaka dari unggas yang terinfeksi. Hal ini disebabkan karena virus AI dapat bereplikasi dalam saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal, dan organ reproduksi (Capua dan Marangon, 2006). Morbiditas dan mortalitas penyakit AI bervariasi tergantung dari gejala klinis, ptogenitas virus, dan faktor-faktor induk semang. Pada kasus yang disebabkan oleh HPAI, morbiditas berkisar antara 50-89% dan mortalitas dapat mencapai 100%, sedangkan pada kasus LPAI morbiditasnya cukup tinggi tetapi mortalitasnya rendah (kurang dari 5%) kecuali jika terjadi infeksi penyakit lain yang bersamaan atau unggas yang terserang berumur muda (Capua et al., 2000).
Secara historis, virus flu burung (AIV) yang sangat patogen (HPAI) pada unggas hanya termasuk subtipe hemaglutinin (HA) H5 dan H7. Sejak awal wabah pada tahun 2003 sampai dengan saat ini, virus HPAI H5N1 di Indonesia termasuk dalam clade 2.1 yang selanjutnya terbagi menjadi 3 clade dengan urutan sebagai berikut 2.1.1, 2.1.2 dan 2.1.3. Virus-virus clade 2.1.1 banyak diisolasi dari unggas-unggas yang terinfeksi HPAI selama wabah berlangsung antara tahun 2004-2007. Clade 2.1.2 terdiri dari virus-virus yang menginfeksi unggas dan manusia, diisolasi terutama dari Sumatera pada tahun 2004-2007. Clade 2.1.3 terdiri dari suatu rangkaian virus-virus yang diisolasi dari unggas dan manusia sejak 2004. Clade 2.1.3 menjadi paling dominan di Indonesia, sedangkan clade 2.1.1 dan 2.1.2 semakin berkurang sejak 2005 (WHO, 2011).
Satu kelompok yang mendapatkan perhatian cukup besar dari para ahli dunia yaitu suatu kelompok urutan keempat baru 2.3.2.1 yang diidentifikasi pada Februari 2011, sebagai hasil evolusi dari kelompok 2.3.2 yang semula bersirkulasi di antara unggas di wilayah Asia Timur sejak tahun 2005. Penemuan kelompok baru ini pada unggas semakin meningkat di sejumlah negara, dan bahkan di beberapa area menjadi lebih dominan daripada kelompok- kelompok yang bersirkulasi sebelumnya seperti di Vietnam (Webster et al., 2007).
Konfirmasi pertama munculnya virus AI H5N1 clade 2.3.2 pada burung liar di India yang kemudian menyebar dari Asia Tenggara sehingga pada tahun 2011 sejumlah negara di Asia seperti Republik Korea, Jepang, Myanmar dan Nepal telah terinfeksi oleh virus baru ini terutama clade 2.3.2.1 (EMPRES, 2012). HPAI H5N1 clade 2.3.2 di Indonesia terjadi pada bulan September 2012 sejak terjadi kematian massal itik di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Virus varian baru ini sangat ganas menyerang itik. Sembilan provinsi dilaporkan sudah tertular dalam waktu enam bulan sejak kasus pertama kematian massal itik yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DIY, Banten, Lampung, Riau, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat. Hingga 27 Desember 2012 tercatat 150.000 itik mati terjangkit clade 2.3.2. dan seluruh kasus kematian terjadi di peternakan itik rakyat (WHO, 2011). Hingga saat ini virus HPAI H5N1 clade 2.3.2 sudah dominan ditemukan di ayam.
HPAI H5N1 clade 2.3.2.1 terus berevolusi dan menyebabkan antigenic drift. Pergeseran genetik untuk isolat-isolat HPAI dinilai terjadi sekitar 2-3% tiap tahunnya. Oleh karena itu, dibutuhkan studi lebih lanjut untuk pengembangan isolat-isolat potensial untuk kandidat seed vaksin HPAI yang baru yang berasal dari isolat-isolat yang berhasil dikarakterisasi pada beberapa tahun belakangan ini. Kita juga perlu meninjau seed vaksin yang lama, khususnya AI Sukoharjo yang dinilai dapat memberikan perlindungan parsial untuk beberapa virus H5N1 2.3.2.1 di periode 2017-2019 yang sudah mulai tidak begitu efektif di lapangan. Berbeda dengan HPAI, selama 3 tahun sejak deteksi LPAI H9N2 pada unggas, virus LPAI menunjukkan keragaman clade yang terbatas. Walaupun ada kemungkinan reassortment genetik antara virus HPAI dan LPAI, tetapi masih membutuhkan penyelidikan lebih lanjut dan analisis molekuler yang mendalam. Temuan ini menyoroti pentingnya pengawasan molekuler lanjutan untuk memantau evolusi virus influenza dan untuk mengevaluasi apakah vaksinasi mampu melindungi unggas dari infeksi virus.
Terpisah dari virus influenza H5N1, subtipe lain dari virus influenza, H9N2, telah menjadi panzootik dalam dekade terakhir dan telah diisolasi dari berbagai jenis unggas darat di seluruh dunia. virus avian influenza subtipe H9N2 mengakibatkan kerugian yang cukup besar oleh karena morbiditas virus ini mencapai 100% pada peternakan ayam petelur terinfeksi (Sun dan Liu, 2015). Adanya mutasi gen melalui antigenic drift dan antigenic shift dapat mengakibatkan perubahan gejala dari semula LPAI yang terkadang tidak begitu merugikan menjadikannya sangat merugikan dunia perunggasan (Cattoli et al., 2011).
Tindakan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah bersama para pelaku industri peternakan adalah melalui program vaksinasi AI. Di Indonesia setelah pemerintah menetapkan bahwa wabah unggas disebabkan oleh penyakit AI dari subtipe H5N1, dalam rangka penanggulangannya telah ditetapkan kebijakan pelaksanaan program vaksinasi dengan menggunakan isolat lokal dan isolat dengan subtipe yang sama (Eagles et al., 2009). Strain vaksin yang efektif sebaiknya memiliki kesamaan genetik minimal 80% dengan virus AI lapangan (Dharmayanti et al., 2011; Swayne et al., 1999). Oleh sebab itu, sebagai salah satu pelaku industri vaksin, PT. Sanbio Laboratories telah menyediakan beragam vaksin AI sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap infeksi virus AI pada peternakan. Vaksin-vaksin ini sudah disesuaikan dan mengikuti perkembangan kondisi virus AI di lapangan. Vaksin-vaksin ini dikenal secara komersil dengan nama SANAVAC AI, SANAVAC AI PLUS, SANAVAC AI PLUS H9, SANAVAC AI H9, SANAVAC ND AI, SANAVAC ND AI PLUS, dan SANAVAC ND G7 AI PLUS H9.
Daftar Pustaka
Capua I, Marangon S. 2006. Control of avian influenza in poultry. Emerg Infect Dis. 12(9):1319-1324.
Capua I, Mutinelli F, Bozza MA, Terregino C, Cattoli G. 2000. Highly pathogenic avian influenza (H7N1) in ostriches.Avian Pathol.29:643-646.
Cattoli G, Milani A, Temperton N. 2011. Antigenic drift in H5N1 avian influenza virus in poultry is driven by mutations in major antigenic sites of the hemagglutinin molecule analogous to those for human influenza virus. J Virol 85(17): 8718–8724. Cattoli G, Milani A, Temperton N. 2011. Antigenic drift in H5N1 avian influenza virus in poultry is driven by mutations in major antigenic sites of the hemagglutinin molecule analogous to those for human influenza virus. J Virol 85(17): 8718–8724.
Dharmayanti NLPI, Samaan G, Ibrahim F, Indriani R, Darminto, Soebandrio A. 2011. The genetic drift of Indonesian avian influenza A H5N1 viruses during 2003–2008. Microbiol Indones. 5(2):68-80.
Eagles D, Siregar ES, Dung DH, Weaver J, Wong F, Daniels P. 2009. H5N1 highly pathogenic avian influenza in Southeast Asia. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 28(1):341-348.
EMPRES/FAO-GLEWS. 2012. H5N1 HPAI Global Overview January–March 2012. Summary Issue No. 31: 1 – 11
Sun Y, Liu J. 2015. H9N2 infuenza virus in China: a cause of concern. Protein Cell 6: 18–25.
Swayne DE, Beck JR, Garcia M, Stone HD. 1999. Influence of virus strain and antigen mass on efficacy of H5 avian influenza inactivated vaccines. Avian Pathol. 28:245-255.
Webster R.G., Hulse-Post D.J., Sturm-Ramirez K.M., Guan Y., Peiris M., Smith G., and Chen H. 2007. Changing Epidemiology and Ecology of Highly Pathogenic Avian H5N1 Influenza Viruses. Avian Diseases 51: 269-272.
WHO (2011). Avian Influenza Situation Update in Indonesia. http://www.who.int.